Bojonegoro Matoch

BOJONEGORO MATOCH

Kamis, 04 Agustus 2011

MEWASPADAI HILANGNYA KEJUJURAN



MEWASPADAI HILANGNYA KEJUJURAN

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang jujur (QS. At-Taubah : 119)

Dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, kejujuran adalah ruh yang mengikat interaksi di tengah mereka. Assidqu (jujur) merupakan bagian yang terlepaskan dari iman. Sifat utama dari orang-orang yang beriman kepada dirinya adalah jujur terhadap Allah, orang lain, dan dirinya sendiri. Iman didefinisikan sebagai tasdiqum bil qolbi (membenarkan, jujur dalam hati), wa iqrorun bil lisani (pernyataan lisan) dan amalun bil arkan (mengamalkan dengan perbuatan).

Tentang keutamaan perilaku jujur Rasulullah SAW menyatakan, “ Man ahabba an yuhibbahullahu wa Rosuulahu fal yusdiqul hadist, wa yu-addil amanah, walaa yu-dzi jaarahu” (barang siapa ingin disenangi Allah dan Rasul-Nya hendaklah berbicara jujur, menunaikan amanah dan tidak menggangu tetangganya. (HR. Al Baihaqi).


Tiang Keimanan dan Inti Akhlakul Karimah

Jujur merupakan tonggak keimanan dan inti dari akhlak (moralitas) yang meski dimiliki oleh setiap muslim bahkan seluruh manusia di muka bumi ini. Sebab dengan kejujuran banyak buah positif yang bisa dipetik, banyak keuntungan yang bisa dinikmati. Jujur membawa kepercayaan, kepercayaan akan mengingat hubungan antar manusia. Ingatlah bahwa sifat utama yang dimiliki para Nabi adalah Ash-shidqu (benar dan jujur), ini akan menjadi modal karakter dan sifat baik mereka, Nabi Muhammad SAW menyatakan,
“Hendaklah kamu selalu benar (jujur). Sesungguhnya kebenaran membawa kebajikan dan kebajikan membwa ke surga. Selama seseorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang bener (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong)”. (HR. Al Bukhari).

Tatkala kejujuran telah sirna dari kalbu seseorang hamba Allah, maka dia menuju kehancuran. Seorang manusia menjadi celaka manakala amanah tidak lagi menghiasi dinding nuraninya dan tidak lagi menjdi paradigma pemikirannya. Jika kebohongan (dusta) terjadi secara massif pada banyak orang timbulah masalah paling krusial dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

Korupsi diakukan karena para pemimpin tidak jujur, para pejabat yang koruptor adalah para pendusta (pembohong). Kinerja dan kerja mereka tidak transparan, diam-diam menilep uang rakyat. Para birokrat menjadi maling berbagai fasilitas negara karena sifat tidak jujur. Guru tidak jujur dalam mengajar, murid pun menyontek ketika ujian, maka kualitas pendidikan pun merosot tajam. Suami atau istri selingkuh karena tidak jujur, rumah tangga berantakan, anak-anak yang menjadi korban, dan lain-lain.

Itulah keseharian disekitar kita sangat memprihatinkan. Tidakkah kita takut dengan peringatan Rasulullah SAW???
Demi yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya. Tiada tiba kiamat melainkan dan merajalela dengan terang-terangan segala perbuatan mesum dan keji, pemutusan hubungan kekeluargaan, beretika buruk dengan tetangga, orang yang jujur (amanat) dituduh berhianat, dan orang yang khianat diberi amanat (dipercaya). (HR. Al Hakim).

Keresahan yang melanda dunia tidak lebih karena kejujuran tidak dianggap lagi sebagai senjata utama dalam mengatur tatanan dunia. Di dalam negeri kita pun defisit kejujuran menjadi demikian kasat mata. Para peimpin kita ini sering pula mendapatkan pembenaran dan pembiaran dari kita semua, dan telah dengan telanjang menguliti kejujuran dalam aksi-aksinya. Dengan transparan mereka sendiri menunjukkan bahwa hati mereka telah kosong dari gumpalan-gumpalan kejujuran yang seharusnya dibangun dengan seksama.

Kita menyaksikan dusta dan penghianatan ditata dengan begitu apiknya, diramu dengan sedemikian enaknya, distruktur dengan segitu rapinya, disitematisasikan dengan sedemikian bagusnya. Sehingga kita juga ikut terlena, sehingga kita ikutberputas ditengah arusnya dan kitatenggelam dalam kekotorannya. Ini datang karena sekelompok manusia yang menjadikan dusta sebagai modal kehidupan dengan mempengaruhi orang-orang yang lain.

Diantara manusia ada yang mengatakan : “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, “ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (Albaqarah: 7-9).

Ketika kita membiarkan mereka dengan segala kedustaanya, secara perlahan tapi pasti hati kita pun tidak lagi memiliki radar kepekaan yang tajam untuk membedakan dimana kejujuran dan dimana ketidakjujuran, dimana kebatilan dan dimana kebenaran. Hati kita tidak lagi mampu memonitor antara aksi putih dan aksi hitam karena kita sendiri memang belum mampu melakukan penjernihan dinding-dinding hati kita. Ujung-ujungnya, kita pun larut dalam kedustaan dan kebohongan mereka.

Jujur adalah Integritas

Sebagai muslim kita harus menjungjung tinggi kejujuran dalam segala hal. Kejujuran dalan hati kita, kejujuran dalam lisan kita, dan kejujuran dalam aksi kita. Seharusnya kita mampu menyelaraskan kejujuran hati dan kejujuran lisan serta kejujuran aksi kita. Ucapan-ucapan yang semerbak dengan kejujuran, kalbunya terhiasi dengan kejujuran, aksinya memancarkan kejujuran yang dengan gampang bisa dilihat dan dinikmati oleh semua orang. Itulah integritas seorang mukmin yang sepenuhnya terkontrol dengan keimanannya kepada Allah SWT.

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Asshaf: 2-3).

Sebab dalam posisi kita sebagai orang yang beriman sudah seharusnya kita selalu membangun kejujuran itu dalam bngkai-bingkai perilaku kita agar kita mampu berkumpul bersama orang-orang yang ujur. Sebagaimana yang Allah firmankan :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang jujur. (QS. At-Taubah: 119).

Jika kita diperintah agar bersama dengan orang-orang yang jujur, maka kita sendiri wajib menjadi manusia yang jujur. Teman yang bisa dipercaya adalah manusia yang menjadikan mahkota hidupnya kejujuran kepada Allah SAW kemudian kepada sesama manusia dalam segala hal.

Kerinduan kita untuk berbuat jujur secara terus-menerus dan keinginan kita untuk berkumpul dengan para shiddiqin akan mendorong kita untuk menjadi manusia yang mengabdikan diri pada Allah dengan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada sesama. Kita akan mengubur dusta dalam hidup kita. Karena seorang mukmin pantang berdusta. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW,
Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk selalu bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur; dan barang siapa yang tetap berbuat dusta dan berteguh untuk senantiasa berbuat dusta, maka ia akan di tulis sebagai pendusta ( HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Kejujuran merupakan tiang penopang segala persoalan, dengan kesempurnaan hidup bisa dicapai dan melaluinya aturan hidup bisa diniscayakan.

Maka barang siapa yang menginginkan kehidupan tertib dan nyaman berpegang teguhlan pada kejujuran, pancarkan dalam tindakan, tanamkan dalam pengabdian, saksikan untuk kemanusiaan. Bersikap jujur adalah penegasan kebenaran walupun ia terancam kebinasaan. Sikap jujur adalah mencegah kedua rahang untuk mengucapkan yang terlarang. Kejujuran adalah keyakinan yang kokohterhadap tauhid yang dibarengi dengan kebersihan niat. Bagi orang jujur tidak akan pernah memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan atau ibadah utama yang mesti dilakukan. Kejujuran adalah perkataan jujur dalam wilayah dimana apabila orang mengatakan tidak akan selamat, kecuali dengan kedustaan. Kejujuran adalah pedang Allah, tidak sesuatupun diletakkan di atasnya kecuali dia akan memotongnya.

ALAMIN – JUJUR DAN TERPERCAYA

Pada awal kerasulannya, Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada kaum Quraisy, “Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda?Percayakah kalian?”

Mereka serentak menjawab, “Ya, ucapanmu tid pernah kami sangsikan. Belum pernah kami melihat kau berdusta.”

Jawaban orang-orang musyrik Quraisy itu disapaian secara spontan karena yang bertanya adalah Muhammad bin Abdullah. Sosok yang selama ini mereka gelari dengan Al Amin, orang yang jujur, amanah dan sangat layak dipercaya. Pada usia 12 tahun Nabi sudah mulai turut berdagang kenegeri syam dan menjalankan bisnisnya dengan modal kejujuran. Ketika bekerja kepada Khadijah binti Khuwailid Nabi pun terkenal sebagai usahawan yang jujur dan menjadi sukses karena kejujuran ini.

Ada fenomena menarik dri penganugerahan gelar Al-Amin ini.
Pertama, gelar Al-Amin lahir dari mulut orang-orang Quraisy. Padahal, sejarah mencatat bahwa peradaban Quaraisy saat itu dan jazirah Arab umumnya di tengah peradaban Jahiliyyah. Sebuag peradaban yang sudah tidak bisa lagi membedakan antara yang hak dan batil, antara yang halal dan haram. Sebuah peradaban yang sudah sangat rusak dan bobrok. Ternyata kejujuran Muhammad nin Abdullah tidak luntur oleh peradaban sekelilingnya. Justru orang-orang yang hidup di peradaban Jahiliyah itu (Quraisy) secara suka rela memberikan penghargan kepada kejujuran Muhammad dengan mengelarinnya Al-Amin. Sepertinya Allah ingin memberika pelajaran bahwa kejujuran adalah sebilah mata uang yang tidak saja akan senantiasa berlaku. Tetapi, juga akan selalu berharga dimanapun dan kapan pun, sekalipun ditengah peradaban yang carut-marut. Kejujuran menjadi modal bagi watak dan pribadi agung.

Kedua, gelar Al-Amin ini telah diberikan oleh orang-orang Quraisy jauh sebelum masa kerasulan mengandung pelajaran bahwa kejujuran adalah modal awal sekalius modal sebaik-baiknya untuk menempuh kehidupan. Baik dalam kedudukan Muhammad selaku hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi, tidak terkecuali dalam menjalankan amanah kepemimpinan di hdapan sesama umat manusia.

Ketiga, lawan dari kejujuran adalah perilaku dusta, yang juga dibenci oleh setiap manusia. Mengenai hal ini Rasulullah berpesan, “ Hendaklah kamusekalian menjaga diri dari perilaku dusta. Sesunguhnya dusta akan membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya setiap kejahatan akan menyeret pelakunya ke daam neraka.

Dusa berpotensi membawa seseorang berbuat jahat. Seorang yang bermaksiat sesungguhnya mendustakan kebenaran bahwa Allah Maha Melihat dan mengetahui perbuatan ingkarnya. Seorang pencuri, ketika ia mencuri pada dasarnya ia sedang tidak jujur kepada dirinya sendiri, karena barang yang ia ambil bukan miliknya. Orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat, zakat dan berbagai syariat lainnya, pada dasarnya orang itu sedang tidak jujur pada dirinya sendiri. Ia telah mengingkari jati dirinya sebagai seorang khalifah maupun hamba Allah.

Sudah seharusnya seorang mukmin menegakkan kejujuran, di manapun dan kapan pun. Jujur pada diri sendiri dan orang lain merupakan bagian dari kejujurannya kepada Allah.


Lembaran Dakwah Marhamah
Diterbitkan oleh : Yayasan Sahabat Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar